zmedia

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

Landasan Pengembangan Kurikulum di Indonesia


Pengembangan Kurikulum secara nasional mencakup semua satuan pendidikan yaitu RA, MI, MTs, MA, dan MAK, didasarkan pada landasan pengembangan kurikulum, yaitu landasan filosofis, psikopedagogis, dan sosiologis. Landasan pengembangan kurikulum tersebut merupakan hal yang sangat penting dan merupakan landasan yang kuat berdasarkan hasil pemikiran dan penelitian-penelitian yang mendalam untuk dijadikan pijakan atau landasan dalam mengembankan Kurikulum.

 

Apa menjadi Landasan Pengembangan Kurikulum di Indonesia ? Kurikulum dikembangkan mengacu pada beberapa landasan atau dasar pengembangan kurikulum. Landasan pengembangan kurikulum tersebut meliputi:

 

 

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber, dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, dan posisi peserta didik, penilaian kemajuan hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan (alam, sosial, dan budaya) yang berada di sekitarnya. Kurikulum nasional yang dikembangkan dengan landasan filosofis memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia yang berkualitas sesuai dengan tujuan nasional.

 

Landasan filosofis bagi pengembangan suatu kurikulum amat penting. Schubert (1986) menyatakan bahwa philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a response to the question of how to live a good life. Arti penting filosofi dalam suatu pengembangan kurikulum karena wawasan pengembang kurikulum didasari atas keyakinannya mengenai pendidikan sebagai proses pengembangan potensi peserta didik. Oleh karena itu Tanner dan Tanner (1986) mengatakan bahwa philosophy servesas both a source and an influence for educational objectives and curriculum development. Dengan kata lain filsafat pada dasarnya berperan sekaligus dalam dua sisi, yakni pertama, sebagai sumber inspiratif dan substantif, dan kedua sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan tujuan pendidikan dalam hal ini kompetensi lulusan dan keseluruhan proses pengembangan kurikulum.

 

Beberapa pakar, antara lain Dewey, Tyler, dan Goodlad menyatakan bahwa sebelum menyusun kurikulum, harus jelas dulu filosofi pendidikan yang dipegang, karena filosofi pendidikan menggambarkan tatanan masyarakat ideal yang diidamkan beserta gambaran ideal manusianya (Ornstein & Hunkins, 2018, pp. 48–49). Pengembangan Kurikulum berlandaskan pada falsafah Pancasila yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia yang berdasar pada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara lebih operasional pandangan filosofi pendidikan dalam rangka pengembangan Kurikulum didasarkan pada kerangka pemikiran Ki Hajar Dewantara. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (1928) adalah upaya untuk membangun manusia merdeka, yaitu manusia yang secara lahir atau batin tidak bergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Oleh karena itu, pembelajaran perlu diarahkan untuk memerdekakan, membangun kemandirian, dan kedaulatan peserta didik, namun dengan tetap mengakui otoritas guru.

 

Selain itu, sekolah perlu mewujud sebagai keluarga dan taman yang mengakomodasi keragaman peserta didik (Dewantara, 2004; 2009). Pendidikan dimaksudkan agar anak didik kelak sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Dewantara,1962).

 

Berdasarkan pertimbangan di atas, berikut poin landasan filosofis pengembangan Kurikulum:

a. Pendidikan di madrasah mendorong tercapainya kemajuan dengan berpegang dan mempertimbangkan konteks Indonesia, terutama akar budaya Indonesia.

b. Pendidikan di madrasah diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang humanis, yang dapat mengoptimalkan potensi diri dengan baik, untuk tujuan yang lebih luas dan besar.

c. Pendidikan di madrasah, responsif terhadap perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

d. Keseimbangan antara penguasaan kompetensi dan karakter peserta didik.

e. Keleluasaan madrasah dalam menyusun kurikulum dan mengimplementasikannya

f. Pembelajaran perlu melayani keberagaman dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik

g. Pelaksanaan pembelajaran diselenggarakan dalam suasana belajar yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi Peserta Didik untuk berpartisipasi aktif, dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, inat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik

h. Guru memiliki otoritas dalam mendidik peserta didik dan mengimplementasikan kurikulum dalam pembelajaran.

i.  Kurikulum dikembangkan berlandaskan pada falsafah Pancasila yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia yang berdasar pada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara lebih operasional pandangan filosofi pendidikan dalam rangka pengembangan Kurikulum Merdeka didasarkan pada kerangka pemikiran Ki Hajar Dewantara, terutama terkait membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang secara lahir atau batin tidak bergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Pembelajaran diarahkan untuk memerdekakan, membangun kemandirian, dan kedaulatan peserta didik, namun dengan tetap mengakui otoritas Pendidik. Pendidikan dimaksudkan agar peserta didik kelak sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

 

Dalam konteks filsafat dan ideologi negara Pancasila, serta berbagai filsafat pendidikan yang menjadi wacana akademik keilmuan pendidikan, dan lazim digunakan oleh para pakar pendidikan di berbagai belahan dunia, khususnya dalam pengembangan kurikulum, dikembangkan pemikiran sebagai berikut.

 

Berdasarkan Pancasila, kurikulum dikembangkan atas dasar filosofi sebagai berikut:

a. Kurikulum berakar pada budaya lokal dan budaya bangsa untuk membangun kehidupan masa kini dan masa mendatang (Rusman, dkk, 2021). Kurikulum harus selalu didasarkan pada apa yang dimiliki suatu bangsa dari budaya lokal dimana peserta didik hidup sampai kepada budaya nasional dimana peserta didik menjadi salah satu anggota bangsa. Berdasarkan pandangan filosofi ini maka kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dari budaya setempat dan nasional tentang berbagai nilai yang penting, dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi dalam mengembangkan nilai-nilai budaya setempat dan nasional menjadi nilai budaya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka dan menjadi nilai yang dikembangkan lebih lanjut untuk kehidupan di masa depan. Pengembangan kurikulum berbasis pada budaya setempat ini, pemerintah memberikan kewenangan kepada guru untuk melakukan eksperimen dengan pedagogi inovatif yang dirancang untuk merevitalisasi pengajaran (Bjok, dalam Rusman, dkk 2021). Filosofi ini memberikan arah dan proses pendidikan sebagai cultural transmission and cultural development. Pandangan ini menjadikan kurikulum yang dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk membangun dasar bagi kehidupan masa kini, dan perkembangan bangsa yang lebih baik di masa depan.

b. Kurikulum dikembangkan berdasarkan filosofi eksperimentalisme yang mengatakan bahwa proses pendidikan adalah upaya untuk mendekatkan apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang terjadi di masyarakat baik dalam bentuk menjadikan apa yang terjadi di masyarakat sebagai sumber konten kurikulum maupun mengembangkan potensi peserta didik sebagai agent of change dalam berpartisipasi meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Manusia yang demokratis dalam sistem kehidupan bernegara, politik dan sosial adalah tujuan pendidikan yang harus menjadi kepedulian kurikulum.

c. Kurikulum yang dikembangkan memberikan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan di masa kini dan di masyarakat di masa depan (society 5.0 yaitu masyarakat yang berpusat pada manusia/human-centered dan berbasis teknologi/technology based), dan pada waktu yang bersamaan mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris budaya bangsa dan orang yang peduli terhadap permasalahan masyarakat dan bangsa masa kini.

d. Filosofi yang dikenal dengan nama rekonstruksi sosial memberikan dasar bagi pengembangan kurikulum untuk menempatkan peserta didik sebagai subjek yang peduli pada lingkungan sosial, alam, dan lingkungan budaya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan filosofi bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi intelektual, berpikir rasional, dan kemampuan membangun masyarakat demokratis peserta didik menjadi suatu kemampuan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Sekolah tidak boleh terpisah dari kehidupan masyarakat dan kompetensi peserta didik harus pula berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Berdasarkan filosofi ini juga sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi dan mengomunikasikan, sifat sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara (eksperimentalisme dan rekonstruksi sosial).

 

2. Landasan Sosiologis

Terdapat tiga pertimbangan sosiologis utama, yaitu terkait revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 (society 5.0), dinamika global, dan keragaman sosial masyarakat Indonesia.

 

Pertama, Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0. Teknologi digital menjadi motor penggerak utama dari lahirnya revolusi industri 4.0 dan gagasan masyarakat 5.0 di mana berbagai produk-produk teknologi digital dan variasinya telah mengubah tatanan sosial masyarakat. Perubahannya drastis, hingga mengakibatkan disrupsi pada berbagai lini kehidupan manusia (Lim, 2019).

 

Cara manusia bekerja berubah, demikian juga cara manusia berinteraksi dan berkomunikasi, pada akhirnya pendidikan dankebudayaan juga terimbas oleh revolusi industry 4.0 (Duggan, 2019). Secara umum revolusi industri 4.0 ditandai dengan optimalisasi internet dan otomatisasi yang didukung oleh perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligent) (Linh, 2019; Sharma, 2019).

 

Dengan memanfaatkan teknologi dan data digital, manusia mengembangkan imajinasi dan kreativitas untuk mewujudkan ide-idenya, sehingga Masyarakat 5.0 akan menjadi asyarakat kreatif (Nakanishi & Kitano, tanpa tahun). Sejalan dengan itu, Deguchi, dkk. (2020) menggambarkan visi masyarakat dalam Masyarakat 5.0 memikirkan dua jenis hubungan: hubungan antara teknologi dan masyarakat dan hubungan yang dimediasi teknologi antara individu dan masyarakat. Oleh karena itu, Masyarakat 5.0 mengintegrasikan perkembangan teknologi dengan masyarakat, mengurangi kekhawatiran mengenai dampak negatif teknologi dan menciptakan masyarakat di mana teknologi bisa efektif (Yarash dan Ozturk, 2022).

 

Revolusi industri 4.0 dengan berbagai kemajuan teknologi komunikasi dan informasinya telah memberikan kemudahan akses terhadap sumber-sumber belajar dan jaringan belajar yang tersedia di ruang maya. Pengiriman dan berbagai pengetahuan bisa terjadi kapan saja, dimana saja, tentang apa saja, tanpa membatasi apakah seseorang itu pelajar suatu satuan pendidikan atau bukan. Teknologi digital dapat memperluas akses ke informasi, membuka cara belajar baru dan memberikan peluang untuk komunikasi, kolaborasi, partisipasi, dan perolehan keterampilan. Namun, perlu dipikirkan kembali metode, isi, dan struktur proses pendidikan (Gros, 2016). Era revolusi industri 4.0 dan Masyarakat 5.0 membutuhkan lingkungan belajar yang terhubung dan canggih yang menginspirasi imajinasi, memicu kreativitas, dan memotivasi peserta didik untuk menangani konten secara mandiri (Freigang et al, 2018).

 

World Economic Forum (2020) merekomendasikan delapan karakteristik penting dalam konten dan pengalaman pembelajaran untuk menentukan pembelajaran berkualitas tinggi di Revolusi Industri Keempat disebut “Education 4.0”, yaitu empat kecakapan: kewarganegaraan global, inovasi dan kreativitas, teknologi, dan interpersonal; serta empat mode pembelajaran, yaitu: pembelajaran yang dipersonalisasi dan serba mandiri, pembelajaran yang mudah diakses dan inklusif, pembelajaran berbasis masalah dan kolaboratif, dan pembelajaran seumur hidup yang digerakkan oleh siswa. Adapun kecakapan yang direkomendasikan encakup tiga kelompok besar yaitu kecakapan literasi fundamental, kompetensi, dan karakter (WEF, 2016).

 

Kedua, Dinamika Global. Priestley et al. (2021) mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum dalam konteks negara tertentu pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh global dan sudah seharusnya memperhatikan dan mempertimbangkan dinamika global, termasuk di antaranya mengambil inspirasi kurikulum negara lain. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan oleh negara-negara maju seperti Australia dan Inggris misalnya menjadi inspirasi pengembangan kurikulum nasional Indonesia, termasuk juga eksistensi dari beberapa kurikulum internasional seperti Cambridge dan Internasional Baccalaureate (IB). Dalam hal ini, globalisasi memungkinkan dan mendorong dunia pendidikan berkembang dengan mempertimbangkan dinamika global dan isu-isu global sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses pembelajaran, sehingga melahirkan corak kurikulum dan pembelajaran yang mampu membangun wawasan internasional anak didik (Cross & Molnar, 1994; Leask, 2014)

 

Perspektif yang perlu dipegang dalam mempertimbangkan dinamika global adalah kosmopolitanisme, yakni pandangan yang mendorong manusia untuk hidup berdampingan sebagai satu warga dunia Semangat kosmopolitan mengarahkan anak didik untuk mengasah sensitivitas sosialnya atas masalah yang terjadi di berbagai belahan dunia lain, termotivasi untuk belajar beragam budaya yang berbeda-beda, dan terdorong untuk berkontribusi bagi kehidupan dunia yang lebih baik (Gunesch, 2004; Hansen, 2008, 2010)

 

Ketiga, Keragaman Sosial Masyarakat Indonesia. Di sisi lain, konteks nasional Indonesia dicirikan dengan keragaman sosial, budaya, agama, etnis, ras, dan daerah. Secara sosiologis keragaman tersebut merupakan kekayaan yang potensial mendorong tercapainya impian menjadi bangsa Indonesia yang maju, sejahtera, dan hidup harmonis antar elemen bangsa. Namun, di sisi lain keragaman tersebut juga sering kali membuahkan konflik sebagaimana tercatat dalam perjalanan sejarah Indonesia (Jones, 2017; Latif, 2011). Masih banyak konflik terjadi antara warga masyarakat dan korporasi/investor, konflik atas nama agama dan etnis, polarisasi pilihan politik, juga kesenjangan ekonomi yang potensial memicu lahirnya kasus-kasus kejahatan. Tidak hanya itu, realitas sosial di Indonesia juga masih tampak beberapa masalah terkait dengan budaya dan mentalitas yang kurang mendukung kemajuan, termasuk di dunia pendidikan (Bjork, dalam Rusman, 2021). Masalah-masalah lain terkait korupsi serta degradasi dan eksploitasi lingkungan hidup juga masih mengemuka.

 

Keragaman masyarakat Indonesia juga dapat dilihat dari kondisi tingkat perkembangannya. Walaupun sekarang berada di era digital, daerah tertentu, khususnya masyarakat adat dan terpencil masih menunjukkan pola perilaku masyarakat berburu. Bahkan semua karakteristik perkembangan masyarakat sebagaimana digambarkan oleh Harayama (2017), masih ada Indonesia.

 

Pendidikan adalah proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia.

 

Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan bahwa Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan lain sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan tentu saja sekolah/lembaga pendidikan. Oleh karena itu sekolah/lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.

a. Kurikulum dalam setiap masyarakat pada dasarnya merupakan refleksi dari cara orang berpikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-kebiasaan. Karena itu dalam mengembangkan suatu kurikulum perlu memahami kebudayaan. Kebudayaan adalah pola kelakuan yang secara umum terdapat dalam satu masyarakat yang meliputi keseluruhan ide, cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan lain sebagainya.

b. Seluruh nilai yang telah disepakati masyarakat dapat pula disebut kebudayaan. Kebudayaan dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang memiliki kompleksitas tinggi. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia yang diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:

c. Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan dan lain-lain. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak dan adanya dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu berada.

d. Kegiatan, yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia sifatnya konkrit, bisa dilihat dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang pertama. Artinya sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai dan norma yang telah dimilikinya.

e. Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh atau hasil karya manusia di masyarakat. Wujud kebudayaan yang ketiga ini adalah produk dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.

 

Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri kedalam kelompok-kelompok berbeda. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan istilah masyarakat yang mempunyai arti suatu kelompok individu yang terorganisir yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri, dengan demikian yang membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung kepada kebudayaan dimana ia dibesarkan.

 

Sumber nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui proses pendidikan ada tiga yaitu: logika, estetika, dan etika. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah nilai-nilai yang bersumber pada logika (pikiran). Sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia, maka kehidupan manusia semakin luas, semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi.

 

Pendidikan harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapat mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam konteks inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat. Untuk dapat menjawab tutntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi kurikulumnya saja, melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksanaannya. Oleh karena itu guru, para pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupan siswa di masyarakat.

 

Kurikulum diharapkan memberikan dasar pengetahuan, kecakapan, dan etika untuk merespons realitas revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0. Adapun kecakapan yang dimaksudkan adalah kecakapan yang relevan di abad 21. Era revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 juga membutuhkan lingkungan belajar yang saling terhubung yang menginspirasi imajinasi, memicu kreativitas, dan memotivasi Peserta didik.

 

Pengembangan Kurikulum ditekankan pada pengembangan peserta didik yang mencakup keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya merupakan sumber daya yang mencakup kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah penting memperhatikan faktor kebutuhan masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Salah satu ciri masyarakat adalah selalu berkembang. Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEK dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangan berupa kurikulum yang landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.

 

3. Landasan Psikopedagogis

Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia, dalam proses pendidikan itu terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, baik lingkungan yang bersifat fisik maupun lingkungan sosial. Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku peserta didik menuju kedewasaan, baik dewasa dari segi fisik, mental, emosional, moral, intelektual maupun sosial. Harus diingat bahwa walaupun pendidikan dan pembelajaran adalah upaya untuk merubah perilaku manusia, akan tetapi tidak semua perubahan perilaku manusia/peserta didik mutlak sebagai akibat dari intervensi pendidikan.

 

Perubahan perilaku peserta didik ada yang diperoleh melalui proses kematangan atau pengaruh dari luar program pendidikan. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Dengan adanya kurikulum diharapkan dapat membentuk tingkah laku baru berupa kemampuan atau kompetensi aktual maupun potensial dari setiap peserta didik, serta kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama.

 

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, sedangkan kurikulum adalah upaya menentukan program pendidikan untuk merubah perilaku manusia. Oleh sebab itu dalam mengembangkan kurikulum harus dilandasi oleh psikologi sebagai acuan dalam menentukan apa dan bagaimana perilaku peserta didik itu harus dikembangkan. Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan, seperti perkembangan dari segi fisik, intelektual, sosial, emosional, moral, dan lain sebagainya.

 

Tugas utama pendidik/guru adalah membantu mengoptimalkan perkembangan peserta didik tersebut. Sebenarnya tanpa pendidikan-pun, anak akan mengalami perkembangan, akan tetapi melalui pendidikan perkembangan anak tersebut akan lebih optimal baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu melalui penerapan landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yang dilakukan dapat menyesuaikan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian dari segi materi atau bahan yang harus disampaikan, penyesuaian dari segi proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.

 

Karakteristik perilaku setiap individu pada berbagai tingkatan perkembangan merupakan kajian dari psikologi perkembangan, dan oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam upaya pengembangannya. Perkembangan-perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru/pendidik selalu mencari upaya untuk dapat membelajarkan anak. Cara belajar dan mengajar yang bagaimana yang dapat memberikan hasil optimal, tentu saja memerlukan pemikiran mendalam, yaitu dilihat dari kajian psikologi belajar.

 

Landasan psikopedagogis merupakan landasan yang memberikan dasar pengembangan kurikulum terkait bagaimana manusia belajar dan berkembang. Penggabungan teori psikologi perkembangan dan pedagogi ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa pengalaman belajar disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas peserta didik sehingga menghasilkan keterlibatan aktif serta hasil pendidikan yang lebih baik (Ryan, R. M., & Deci, E. L., 2017). Beberapa teori yang melandasi psikopedagogi antara lain: (1) teori perkembangan, (2) teori pembelajaran, (3) teori kompetensi emosional/kejiwaan, dan (4) teori motivasi. Teori perkembangan menekankan pada aspek-aspek perkembangan anak dan bagaimana pendekatan kurikulum dapat mengatasi tantangan yang dihadapi selama masa perkembangannya. Teori perkembangan yang dikemukakan oleh Piaget menekankan tahapan perkembangan kognitif yang berurutan (sensorimotor, pra-operasional, operasional konkret, operasional formal) dan pentingnya eksplorasi aktif dalam pembelajaran (Piaget, J, 1970).

 

Teori perkembangan sosiokultural menyoroti peran interaksi sosial dan kolaborasi dalam pembelajaran, dengan “zona perkembangan proksimal” yang memandu dukungan instruksional untuk pembelajaran yang optimal (Vigotsky, 1978). Sedangkan teori perkembangan psikososial berfokus pada delapan tahap perkembangan psikososial dan tantangan serta peluang yang disajikan pada setiap tahap. Kurikulum yang dikembangkan diharapkan dapat mengatasi tantangan-tantangan ini (Erikson, 1963).

 

Teori kompetensi emosional dalam konteks psikopedagogis ini berpijak pada proses belajar peserta didik yang sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis yang dialami peserta didik ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Kompetensi emosional ini dipengaruhi oleh lima hal utama, yaitu kompetensi kehidupan secara utuh (wellbeing), kesadaran emosi dan kejiwaan (emotional awareness), pengaturan emosi (emotional regulation), kompetensi sosial, dan kemandirian emosi (Querrero, 2022). UNESCO (2020) menegaskan proses pembelajaran yang menguatkan perkembangan emosi dan sosial, akan menghasilkan proses pembelajaran yang efektif.

Teori pembelajaran mencakup teori konstruktivisme, konektivisme, dan behaviorisme yang menekankan bahwa kurikulum harus memberikan ruang kepada peserta didik untuk melakukan eksplorasi, penyelidikan, dan pemecahan masalah; serta mempromosikan pembelajaran melalui koneksi dengan kehidupan sehari-hari atau pembelajaran kontekstual (Jonassen, DH, 1991 dan Siemens G, 2004). Kurikulum juga diharapkan dapat memanfaatkan umpan balik dan penghargaan praktik pembelajaran yang efektif (Skinner, BF, 1974).

 

Teori pembelajaran behavioral adalah perspektif psikologis yang berfokus pada bagaimana rangsangan lingkungan dan konsekuensi membentuk dan memodifikasi perilaku. Beberapa implikasi desain kurikulum dari teori pembelajaran behavioral meliputi: menggunakan tujuan dan hasil pembelajaran yang jelas, instruksi langsung dan pemodelan, latihan dan praktik untuk memperkuat pembelajaran, umpan balik langsung dari guru, umpan balik dari peserta didik, penilaian dan evaluasi kemajuan dan kinerja peserta didik, pembelajaran individual dan diferensiasi untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan peserta didik yang berbeda, menggunakan teknik perancah (scaffolding) dan peredaman (fading) untuk menyesuaikan intensitas bimbingan guru secara bertahap sehingga peserta didik menjadi lebih mandiri.

 

Teori pembelajaran konstruktivisme menekankan pentingnya proses pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pelaku aktif pembelajaran (students as agents), bukan sebagai penerima informasi secara pasif (students as recipients). Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan bukanlah kumpulan atau seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah untuk diingat. Pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengetahuan sebelumnya, motivasi, tujuan, strategi, umpan balik, dan konteks. Pembelajaran dapat difasilitasi dengan menggunakan berbagai metode, seperti scaffolding, pemodelan, elaborasi, organisasi, latihan, pemulihan informasi, transfer, dan metakognisi. Beberapa implikasi desain kurikulum dari teori pembelajaran konstruktivis meliputi: peserta didik aktif mengonstruksikan pengetahuan dari input di sekitarnya dan pengalaman sendiri serta punya agency lebih dalam menentukan apa yang ingin dipelajari lebih dalam, menggunakan tujuan dan hasil pembelajaran yang jelas dan spesifik, mengaktifkan pengetahuan sebelumnya dan memberikan gambaran informasi baru, menggunakan contoh dan analogi, menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah, penyelidikan, dan projek, pembelajaran kooperatif dan kolaboratif untuk mendorong interaksi sosial, umpan balik dan penilaian kemajuan dan kinerja peserta didik; diferensiasi dan individualisasi untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan peserta didik yang berbeda, menggunakan teknologi dan multimedia untuk memperkaya dan memperluas pengalaman belajar.

 

Konektivisme merupakan teori pembelajaran yang relatif baru yang mendorong peserta didik mampu menggabungkan pemikiran, teori, dan informasi umum dengan cara yang bermanfaat untuk kepentingan belajar. Konsep ini meyakini bahwa teknologi adalah bagian utama dari proses pembelajaran dan bahwa keterhubungan peserta didik yang terus-menerus memberi peluang bagi peserta didik untuk membuat pilihan dalam pembelajaran.

 

Konektivitas juga mendorong kolaborasi dan diskusi kelompok, memungkinkan adanya sudut pandang dan perspektif berbeda dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan memahami informasi. (UNESCO, 2022). Konektivisme mendorong pembelajaran yang terjadi di luar individu, seperti melalui media sosial, jaringan online, blog, atau basis data informasi. Hal di atas sangat disarankan dalam proses pembelajaran pada implementasi

 

Kurikulum. Konektivisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 2005 oleh dua ahli teori, George Siemens dan Stephen Downes (Siemens, George, 2005; Claudia & Jordan 2022). Publikasi tersebut membahas pentingnya peran teknologi dalam proses pembelajaran dan bagaimana era digital telah meningkatkan kecepatan akses peserta didik terhadap informasi. Hal ini juga sangat direkomendasikan dalam implementasi Kurikulum menjelang pertengahan Abad 21 yang memerlukan peserta didik meningkatkan literasi digital dengan memanfaatkan ragam sumber belajar, termasuk memanfaatkan “internet of things” dan “big data”. Oleh karena itu, kemampuan menggunakan teknologi secara bijak merupakan kompetensi esensial yang dijadikan pertimbangan pengembangan kurikulum. Teori motivasi menyiratkan perubahan perilaku yang didorong atas dasar kebutuhan dasar, penentuan nasib sendiri (motivasi intrinsik), dan pencapaian tujuan yang kesemua ini memengaruhi pembelajaran dan perilaku seseorang. Kurikulum yang dikembangkan diharapkan dapat meningkatkan tujuan dan penguasaan motivasi intrinsik pada peserta didik sehingga memiliki growth-mindset untuk menjadi lebih baik lagi.

 

Penggabungan teori psikologi perkembangan dengan teori pedagogi ke dalam kurikulum diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang interaktif, serta pengalaman belajar yang efektif dan menyenangkan, sehingga mendukung perkembangan optimal seluruh peserta didik. Kurikulum berupaya memadukan teori-teori tersebut dalam perancangan dan pengembangan kurikulum.

 

Demikain Landasan Pengembangan Kurikulum di Indonesia, dilihat dari sisi. Landasan Filosofis, Landasan Sosiologis dan Landasan Psikopedagogis. Semoga ada manfaatnya

Posting Komentar untuk "LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM"



































Free site counter


































Free site counter